-->

Budidaya Burung: Unsur ‘Miji-Miji Dalam Irama Perkutut

Hobi memang unik. Seunik perbandingan kepuasan rasa dengan nilai objek habi itu sendiri. Karena , puncak apresiasi kegemaran bermuara pada rasa , maka posisi “ego” sungguh dominan. Begitupun , kegemaran burung perkutut. Yakinlah , orang di luar kongmania (komunitas penghobi berat burung perkutut) , bakal geleng kepala jikalau diajak bicara soal dunia satwa bernilai spesifik ini.

Sekadar , mengingatkan , pola dasar Tata Cara Konkrus dan Penjuarian produk P3SI , nilai dalam konkurs burung perkutut merupakan pernyataan perbandingan keindahan bunyi yang diwujudkan dalam angka-angka tertentu.

Penilaian keindahan bunyi dalam konkurs itu sendiri dirinci ke dalam lima (5) sasaran penilaian. Yakni : a) Suara depan , dengan tolok ukur panjang , membat (mengayun) bersih. b) Suara tengah , dengan tolok ukur bertekanan , lengkap dan jelas. c). Suara ujung dengan tolok ukur lingkaran , panjang dan b. d). Irama dengan tolok ukur senggang , lenggang , elok dan indah. e). Dasar bunyi atau mutu bunyi dengan tolok ukur tebal , kering , higienis dan jernih.

Ulasan soal angkatan , bunyi tengah (ketek) dan ujung (tengkung) , telah diluncurkan secara bersambung. Sekarang , hingga pada pengertian ihwal irama atau lagu.

Dalam konteks apresiasi seni bunyi burung perkutut , irama menduduki posisi puncak. Sebab , pola dasar analisa mutu irama perkutut , merupakan kompilasi dari keseluruhan mutu rangkaian suara. Yakni , bunyi angkatan , tengah (ketek) , ujung (tengkung) , dan terakhir dasar bunyi atau kwalitas suara.

P3SI memberi pakem analisa irama perkutut ini dengan tolok ukur senggang , lenggang , elok dan indah. Senggang dalam dunia perkutut sering disebut “miji-miji”. Istilah ini lebih merujuk pada kwalitas bunyi tengah yang musti bertekanan , lengkap dan jelas.

Istilah “miji-miji” juga terkait bersahabat dengan intonasi atau jeda. “Mengukur intonasi bunyi tengah , yang paling simpel ya dengan ketukan ,” ungkap Kunto Wijoyo , juru perkutut asal Klaten , Jawa Tengah.

Seperti pada lazimnya juri lain , Kunto lebih sepakat mengukur intonasi bunyi perkutut yang disebut “miji-miji” , optimal dua ketukan dalam satu detik. Jika intonasi yang terbentuk lebih rapat , ungkapan yang dipakai bukan lagi “miji-miji” tetapi “nyeret”. Dan itu akan memicu irama burung jadi kurang tenteram untuk didengarkan.

Terdapat perbedaan fundamental antara apresiasi burung perkutut dengan burung acehan. Mengukur kwalitas bunyi burung ocehan , kriterianya justru mesti antusias dengan intonasi yang cepat dan tegas. Takaran kwalitas irama perkutut justru sebaliknya. Harus senggang atau “miji-miji”.

Diakui , itu pula yang menjadi argumentasi paling fundamental , kenapa penggemar burung perkutut (anggungan) , enggan untuk turun ke dunia kegemaran burung acehan. Begitu pula sebaliknya. Ibarat musik , bunyi burung perkutut masuk ke jenis musik klasik , sedangkan acehan laiknya musik pop atau rock.

Selain senggang , kreteria irama atau lagu burung perkutut mesti lenggang. Padan kata lenggang merupakan merdu. Atau di kelompok kongmania lebih sering dibilang dengan ungkapan “lelah”. Pertanyaannya , bagaimana sosok bunyi perkutut yang disebut “lelah” itu? (bersambung) andi casiyem sudin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel