Dinasti Politik Berjaya Di Pilkada Serentak 2020
SURABAYA, – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berbarengan yang berjalan pada 9 Desember 2020. Di Jawa Timur, ada 19 Pilkada yang digelar terdiri atas 16 Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan tiga Pemilihan Wali Kota/Wakil Wali Kota.
Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) lokal belum menetapkan secara resmi siapa Pasangan Calon (Paslon) terpilih, sejumlah kandidat terafiliasi dinasti politik dipastikan menang berdasar hitung cepat atau quick count yang dirilis aneka macam lembaga survey.
Pengamat politik sekaligus Direktur Surabaya Survey Center (SSC) Mochtar W Utomo berpendapat, kemunculan saudara penguasa atau mantan penguasa selaku pemenang dalam perhelatan politik di tanah air utamanya Jawa Timur ialah kewajaran.
Kerabat incumbent atau penguasa dikatakan Dosen Universitas Trunojoyo Madura ini, lebih mempunyai popularitas dibanding calon yang lain dan hal tersebut menurutnya, bagian dari taktik politik dalam mendulang bunyi untuk mempermudah memenangi kontestasi politik di kurun penyeleksian pribadi.
“Kaprikornus saat yang dipilih meneruskan (kekuasaan) yaitu istrinya, atau anaknya, atau saudaranya, keponakannya itu lebih sebab seni manajemen politik pada abad pilihan eksklusif,” ujar Mochtar W Utomo dalam sambungan telepon, Kamis (10/12/2020).
Di Jawa Timur, keponakan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indrata Nur Bayu Aji berpasangan dengan Gagarin diprediksi keluar sebagai pemenang dalam Pilkada Kabupaten Pacitan. Kemudian Ikfina Fahmawati, istri Mantan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasha sekaligus abang ipar Walikota Mojokerto Ika Puspitasari juga menang dalam Pilkada Mojokerto bareng pasangannya M Albarraa.
Lalu, istri Bupati Azwar Anas, Ipuk Fiestiandani, dipastikan melanjutkan tampuk kepemimpinan suaminya di Kabupaten Banyuwangi setelah unggul berdasar penghitungan cepat Pilkada Banyuwangi 2020. Belum lagi, Mantan Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), abang kandung Gus Irsyad selaku Bupati Pasuruan juga bakal menjadi Walikota Pasuruan masa mendatang.
Sebenarnya Mochtar tak sependapat jikalau keikutsertaan kerabat penguasa meramaikan bursa penyeleksian umum disebut sebagai upaya membangun dinasti politik. Sebab, secara harafiah dinasti politik merupakan konsep yang dianut dalam tata pemerintahan feodal periode lampau dimana kekuasaan dipegang secara turun temurun.
Sementara pada ketika ini, perpindahan kekuasaan ditempuh lewat proses pemilihan secara demokratis. Seperti Pilkada yang gres saja digelar.
“Kaprikornus pengertiannya bantu-membantu telah berlawanan, dinasti dalam konteks harafiah feodal tadi dan dinasti politik dalam konteks demokrasi mirip pada masa sekarang ini,” jelasnya.
Dan tak dipungkiri, masyarakat memang dikatakan Mochtar condong memilih kandidat yang mempunyai korelasi dengan penguasa sebelumnya lantaran kapabilitas pilihannya itu dirasa lebih baik dibandingkan kandidat lain. Dan keadaan ini tidak cuma terjadi di Indonesia, di negara lain juga kerap melakukan hal yang serupa.
“Di negara-negara manapun sudah biasa Presiden selanjutnya, ada korelasi darah dengan Presiden sebelumnya, Perdana Menteri sebelumnya,” lanjut ia.
Dengan menjatuhkan pilihan terhadap calon yang berafiliasi dengan penguasa atau mempunyai korelasi, katanya, tidak menciderai proses demokrasi. Lantaran negara ini tidak melarang keluarga penguasa mencalonkan diri selaku kontestan di pesta demokrasi. Justru bagi Mochtar, demokrasi akan terciderai apabila opsi jatuh terhadap calon yang tidak mempunyai kualitas maupun kapabilitas, dia dipilih cuma alasannya adalah pelengkap duit.
Namun diluar itu semua, Mochtar menyampaikan, hendaknya pilihan itu diberikan kepada kandidat yang betul-betul memiliki mutu, track record, kapasitas, visi dan misi jelas tanpa memperhatikan background kandidat.
“Dia anak siapa, istri siapa, anaknya siapa, agamanya apa itukan background yang setiap orang punya. Makara cari pemimpin jangan melihat backgroundnya,” pungkasnya.