-->

Jang Bogo: Pendekar Korea Dan Panglima Perang Kerajaan Silla Yang Digdaya

SURABAYA, – Sejarah antik Korea yaitu salah satu kurun sejarah Asia yang sungguh misterius dan masih menjadi subjek observasi yang sangat aktif oleh para sarjana.


Tulisan-tulisan yang masih ada pada era awal periode pertengahan cenderung mencampurkan legenda dengan fakta. Karena itu, kombinasi yang dihasilkan meninggalkan narasi yang agak misterius.


Namun demikian, beberapa fakta sejarah yang nyata masih bertahan, dan memberi kita wawasan yang cukup baik tentang pertumbuhan Korea pada tahap awalnya.


Banyak raja dan ningrat terkemuka mendominasi era ini, dan Jang Bogo ialah sosok terkemuka dan layak menerima kisahnya sendiri.


Dia adalah seorang satria yang dicintai rakyat, seorang komandan yang lihai dan pedagang maritim yang oportunis. Namanya mencuat menjadi salah satu orang paling berpengaruh di Kerajaan Silla, Korea.


Keunggulan itu membuatnya disukai banyak orang – tetapi juga kebencian dari musuh-lawannya yang paling mulia.


Sekelumit info ihwal Jang Bogo


Periode sejarah Korea di mana Jang Bogo hidup diketahui dalam sejarah sebagai kurun Silla Akhir. Ini mengacu pada Silla, salah satu dari tiga kerajaan besar Korea, pada era sesudah menaklukkan kerajaan tetangganya: Goguryeo dan Baekje.


Periode itu juga disebut kerajaan Silla Bersatu. Itu ialah kebangkitan selaku kerajaan yang makmur dan berpengaruh, di samping negara bab Tamna di Pulau Jeju, dan yang disebut Goguryeo Kecil jauh di utara.


Silla Bersatu dan dinasti yang berkuasa dengan nama yang sama ada kira-kira dari 668 hingga 935 M, hingga diserap oleh kerajaan Goryeo yang sedang bangun pada kurun Tiga Kerajaan Akhir. Dan Jang Bogo hidup di zaman keemasan abad Silla Bersatu.


Sejarah tidak menyimpan banyak gosip perihal awal kehidupan tokoh yang berkuasa ini. Sedikit info yang bertahan menawarkan bahwa dia adalah orang biasa, bukan laki-laki kelahiran yang mulia, dan bahwa kurun mudanya memperlihatkan tidak ada janji kebesaran apa pun.


Rupanya, Jang Bogo — yang lahir dan nama periode kecilnya Gungbok — pergi ke Semenanjung Shandong di Cina dikala masih muda. Di san ia bergaul dengan komunitas ekspatriat Silla, di sanalah beliau menerima pengalamannya dalam pelayaran, perdagangan, dan kepemimpinan militer.


Bagaimana dan mengapa Jang Bogo menjadi terkenal dikala tinggal di Dinasti Tang Cina masih belum jelas.


Salah satu dari sedikit sumber semi-historis kehidupan Jang Bogo ialah apa yang disebut Samguk Sagi, catatan sejarah abad Tiga Kerajaan. Itu ditulis sekitar tiga ratus tahun setelah maut Jang Bogo dengan narasi yang mencampuradukkan antara dongeng dengan fakta.


Meski begitu, kita tahu niscaya bahwa selama Dinasti Tang, ada ribuan warga Silla yang tinggal di komunitas di provinsi Jiangsu dan Shandong, dan tampaknya di sanalah Jang Bogo pertama kali menapakkan jejaknya.


Sebagian besar setuju bahwa ia menjadi perwira militer lokal di awal era mudanya. Kemudian, secara bertahap beliau mendapatkan pengalaman dan kekuasaan.


Tercatat bahwa pada satu titik dia mendirikan kuil Buddha untuk rekan senegaranya di Tang Cina. Dikenal sebagai Beophwawon, terletak di Rongcheng, di provinsi Shandong di Cina.


Dia juga tercatat berhasil meredakan suasana politik yang tidak stabil di daerah tersebut pada periode ke-9 M.


Perompak yang memenuhi lautan dalam jumlah besar, mengeksploitasi ketidakstabilan tersebut dengan melaksanakan perdagangan budak dan penculikan warga sipil secara massal, mampu dikendalikan oleh Jang Bogo.


Kebangkitan Jang Bogo di Tiongkok dan Kembalinya ke Korea


Beberapa sumber menyatakan bahwa Jang Bogo pernah bertugas di pasukan Mooryeonggun, di mana beliau memegang pangkat perwira.


Rupanya dia “pensiun” dengan pangkat komandan yunior, di mana dia mempunyai imbas besar dan prestise di daerah tersebut. Sekitar waktu inilah ia mengangkat Kuil Beophwawon.


Sumber menunjukkan bahwa kuil ini bukan cuma sentra keagamaan bagi orang Sillans di Tang Cina, tetapi juga berfungsi sebagai sentra diplomatik dan ekonomi, semacam konsulat.


Entah dimengerti atau tidak oleh bangsanya di Korea, faktanya beberapa dikala sesudah 820 M, Jang Bogo kembali ke tanah airnya dengan memimpin pasukan sekitar 1.000 tentara dan armada yang perkasa.


Sekitar 828 M, beliau mengajukan petisi terhadap raja Sillan Heungdeok dan sukses meyakinkan pemerintah untuk menunjuknya selaku hakim di suatu benteng angkatan bahari besar di lepas pantai selatan Semenanjung Korea, dekat pulau Wando.


Benteng angkatan maritim yang strategis seperti itu mampu secara aktif memerangi ancaman bajak bahari dan mengamankan perbatasan barat daya dan bahari Kerajaan Silla. Dengan demikian, permintaan Jang Bogo dikabulkan, dan beliau menjadi sosok yang bahkan lebih kuat.


Benteng ini diketahui sebagai Garnisun Cheonghae atau Cheonghaejin. Dan Raja Heungdeok memberikan Bogo komando atas 10.000 pasukan yang ditempatkan di sana.


Sejak dikala ini, popularitas Jang Bogo menjadi terkenal. Dengan komando benteng angkatan bahari utama, dia menjadi salah satu dari banyak panglima perang swasta yang beroperasi di luar perbatasan ibu kota Silla, didukung oleh pasukan eksklusif mereka sendiri.


Berdiri di depan pasukan 10.000 orang, dan memimpin armada yang berpengaruh, Jang Bogo sendirian timbul di puncak tokoh besar lengan berkuasa di daerah itu.


Ia segera menjadi tokoh mayoritas dalam jual beli laut trilateral antara Jepang, Korea, dan Cina, berhasil menerapkan pengalamannya di Shandong untuk mengintegrasikan militer dengan pengejaran ekonomi.


Ia menjadi penengah jual beli di Laut Kuning, mendominasi jual beli dan navigasi. Kekuasaan ini juga menjadikannya menjadi tokoh penting dalam politik Silla.


Mereka yang menjadi pemimpin pasukan yang begitu besar pasti memiliki banyak imbas di pengadilan. Namun, latar belakang Jang Bogo yang umum membuatnya menerima banyak kebencian dari bangsawan Sillan.


Beberapa sumber mengklaim bahwa dia sungguh besar lengan berkuasa sehingga ia mampu menggulingkan raja jikalau dia mau, namun klaim ini bisa diperdebatkan.


Meski demikian, Jang Bogo secepatnya terlibat dalam politik. Ini mungkin tidak dijalankan atas dorongannya sendiri, namun oleh mereka yang mencari pertolongan dan pertolongan pasukannya.


Pada sekitar 837 M, dia didekati oleh Gim Ujing, pecundang terakhir dalam perjuangan kerajaan Silla untuk suksesi. Gim Ujing berusaha untuk merebut kembali tahta dari Raja Minae, yang merebutnya dengan membunuh ayah Ujing.


Beberapa sumber mengklaim bahwa Jang Bogo menjawab permohonan ini selaku berikut: “Orang dahulu memiliki pepatah, ‘Untuk melihat apa yang benar dan tidak melakukannya yakni keinginan keberanian.’ Meskipun aku tidak memiliki kesanggupan, saya akan mengikuti perintah Anda.”


Tetapi skenario yang paling mungkin yakni bahwa Jang Bogo menyaksikan kesempatan yang jelas untuk pertumbuhan lebih lanjut dalam politik dan istana kerajaan Silla dengan mendukung pihak yang menang.


Dia oke untuk menolong Gim Ujing (kemudian disebut Sinmu) dan mengantar5.000 pasukan di bawah komando perwira terdekatnya, Jeong Yeon.


Perjuangan itu berhasil, dan Gim Ujing timbul selaku Raja Sinmu, penguasa Silla ke-45. Atas bantuannya, Jang Bogo diangkat menjadi Perdana Menteri, dan menikmati kekuasaan dan kekayaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Dia juga dibebaskan dan diberi gelar “Jenderal Agung Cheonghae Garrison.”


Keruntuhan Jang Bogo


Sayangnya, pemerintahan Raja Sinmu terlalu singkat. Dia meninggal alasannya penyakit kira-kira tiga bulan sesudah naik tahta. Ia digantikan oleh putra tertuanya, Raja Munseong.


Bagi Jang Bogo, ini tidak berarti apa-apa alasannya kekuatannya masih berada pada titik tertinggi sepanjang kala. Tetapi keinginannya sendiri untuk lebih, balasannya menimbulkan kejatuhannya secara bertahap.


Terdorong oleh kekuatannya dan semua kesuksesannya, Jang Bogo ingin meraih puncak kekuasaan tertinggi. Sekitar 845 M ia bermanuver agar putrinya sendiri menikah dengan Raja Munseong, selaku ratu keduanya. Atas desakan darah biru, Raja Munseong mengalah dan menolak ajuan Jang.


Hal ini menjadikan keributan besar di istana Silla: para darah biru sangat menentang pemikiran tersebut dan secara terbuka tidak senang Jang Bogo. Ketika itu dia digambarkan selaku seorang oportunis yang lahir biasa.


Periode ini dicatat dalam buku History of the Three Kingdoms. Jang Bogo disebut-sebut sungguh murka sehingga dia bangkit untuk melaksanakan pemberontakan. Atau, lebih tepatnya, bersekongkol melawan raja.


Menanggapi hal ini, elit darah biru dan pemerintah berniat untuk membunuh Jang Bogo. Ini terjadi pada 841 atau 846 M, di markas besarnya di Cheonghae.


Dia didekati oleh seorang pembunuh yang beliau kenal. Pria itu rupanya mengkhianatinya dan mendekat dengan pisau yang disembunyikan di pakaiannya. Jang Bogo dibunuh saat beliau mengembangkan anggur dengan pria itu. Lokasi pemakamannya tidak dikenali.


Segera sesudah jatuhnya Jang Bogo yang tangguhitu, garnisunnya di Cheonghae dibubarkan, dan semua pasukan yang ia pimpin dikirim ke daerah lain.


 


***


Artikel ini diadaptasikan dari tulisan Aleksa Vučković di laman Ancient Origins dengan judul semula: Jang Bogo: The Powerful Silla Kingdom Warlord And Korean Hero

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel