-->

Budidaya Burung: Harga Perkutut Sama Dengan Kepercayaan



Mohammad Yusuf ,52 , importir perkutut berdarah Kelantan yang sekarang bertempat tinggal di Tulungagung menyampaikan , harga seekor perkutut ditakar dengan kepercayaan. Kualitas bunyi maupun bahan (genetik) , berada di urutan kedua.

Komentar ini sepintas terlihat controversial. Tapi di sektor hobis , khususnya kegemaran perkutut , justru musti dijadikan pola dasar. Ingin bukti? Tawarkan perkutut jawara pada orang yang bukan penggila perkutut. Dia cuma akan terbengong , jikalau telah menjamah segi harga. Sebaliknya , penggila perkutut dijamin tidak akan keluarkan duit sampai ratusan juta jikalau orang yang menawari perkutut bukan pemain setara dia. “Tapi untuk mendapat keyakinan pasar ya tidak gampang. Butuh waktu panjang ,” katanya , Jumat (20/11).

Kontroversi di sektor bisnis perkutut ini , sangat , ialah potensi empuk bagi pemain yang sukses memeta pasar. Sebab , tidak jarang , seorang pakar bisa meraup laba puluhan juta , dari sosok perkutut yang mulanya cuma dibeli ratusan ribu. , Sebaliknya , di tangan orang yang bukan ahlinya , perkutut bernilai jutaan acap kali cuma dibanting senilai ratusan ribu.

Itu dia. Lantaran barang yang dijualbelikan yaitu perkutut , apa pun kiatnya , pengertian karakteristik perkutut itu sendiri wajib dilakukan. Hasil survey memamerkan , banyak peternak perkutut bongkar sangkar karena tidak mendapat keyakinan pasar. Padahal investasi yang dipertaruhkan tak sedikit. Mencapai miliaran.

Sony Bird Farm yaitu contoh kasatmata peternak burung perkutut yang gagal memformat segmen pasar. Padahal , Kongmania dalam negeri tahu persis , di kala 80-an centra ternak perkutut milik Koh Jin , Madiun , ini masuk The Big Ten Indonesian Bird Farm.

“Rata-rata kegagalan mereka dalam berternak alasannya yaitu dua alasan. Jika gagal dalam memeta segmen pasar , ya alasannya yaitu peternak itu sendiri belum mengerti karakteristik bunyi perkutut ,” ujar Lamidi , ketua Sie Lomba Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia (P3SI) Korwil Jatim.

Menurut beliau , banyak pemain yang belum paham mengapresiasi anggungan perkutut. Pemain , pada biasanya , keburu merasa bisa (rumangsa bisa) , lalu berpendapat burung miliknya paling manis , disbanding burung punya orang lain. Dampaknya , saat perkutut gacoannya gagal berkoar di kontes , serta merta mencari kambing hitam. “Di segi ini juri perkutut yang biasanya jadi kambing hitam. Dianggap tidak dapat kerja ,” kata Lamidi.

Yakinlah , pemain perkutut dengan ego semacam itu , tidak akan bertahan usang dalam kompetisi bisnis hobis. Sebab bisnis hobis butuh keteguhan tinggi. Ini mengingat , segmen pasar bisnis hobis relative terbatas. Boleh dikatakan , cuma melingkat-lingkar di kelompok penghobi sejenis. Sahamnya , gampang cuma bertumpu pada keyakinan pasar dan merk image. Sekali menciderai konsumen , jangan harap bisa menggaet konsumen lain.

Dus , diusulkan terhadap pemula untuk mengerti dahulu karakteristik bunyi perkutut sebelum menekuni ke bisnis perkutut.

Mengutip pola dasar Tata Cara Konkrus dan Penjuarian produk P3SI , nilai dalam konkurs burung perkutut yaitu pernyataan perbandingan keindahan bunyi yang diwujudkan dalam angka-angka tertentu.

Penilaian keindahan bunyi dalam konkurs itu sendiri dirinci ke dalam lima (5) sasaran penilaian. Yakni : a) Suara depan , dengan tolok ukur panjang , membat (mengayun) bersih. b) Suara tengah , dengan tolok ukur bertekanan , lengkap dan jelas. c). Suara ujung dengan tolok ukur lingkaran , panjang dan mengalun. d). Irama dengan tolok ukur senggang , lenggang , elok dan indah. e). Dasar bunyi atau mutu bunyi dengan tolok ukur tebal , kering , higienis dan jernih.

Dari lima tolok ukur itu , bunyi tengah lebih sering menimbulkan silang pandang dan perdebadan panjang. Sejumlah pakar mengakui , kesusahan fundamental dalam mengerti bunyi perkutut yaitu mengapreasiasi bunyi tengah. “Kalau soal memahani bunyi angkatan (suara depan ,red) , irama , dasar bunyi atau suata ujung biasanya lebih gampang ,” ujar Suyanto , juri nasional P3SI asal Jatim.

Misalnya , mengerti bunyi depan atau angkatan. Kuncinya cuma panjang memabat dan mengayun dan bersih. Bersih dalam hal ini mesti terbebas dari konsonan “er” atau “ek”. Misalnya , wao….. atau klao…. atau juga waee … mau pun waeenng.... Yang agak sulilt barangkali , cara mengukur panjang pendeknya bunyi angkatan. Pertanyaannya , bagaimana mengukur panjang pendeknya bunyi depan? (bersambung) andi casiyem sudin

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel