-->

Budidaya Burung: Kupas Tuntas Kegemaran Perkutut (2) Apresiasi Dulu| Gres Investasi

Mitos burung perkutut menclok di becak H.Hasan , hingga kini tetap bergema mengilhami berhasil stori Kongmania (sebutan penghobi berat burung perkutut) di tanah air. Pelecutnya , cukup klasik. Perkutut temuan bisa mendongkrak perekonomian laki-laki asal Madura itu. Pun , keberanian beliau meninggalkan profesi usang selaku kakak becak , beralih ke ternak perkutut , pantas dikatakan selaku revolusi di bidang wirausaha.

Fakta mengatakan , nama H Hasan kini melegenda. Si Abang Becak itu , bermetamorfosis jadi usahawan ritel , yang tak cuma bisa mengidupi anak cucu. Tapi juga bisa membuka kesempatan kerja , memberi matapencarian puluhan jiwa.

Sementara , di sudut kediaman beliau , di bilangan Rungkut Surabaya , sekitar 150 sangkar perkutut , hingga kini masih tetap dipertahankan. Alasannya klasik , kekayaan yang beliau sanggup , berawal dari inovasi breeding di kadang kututnya itu.

Jaya Suprana dalam pelatihan agrobisnis di Hotel Merdeka Madiun , bilang , berhasil stori dalam berwirausaha terjadwal dalam desain religiusitas berakronim 5i. Yakni , intusisi , inspirasi , intelegensi , inovasi dan insya Allah. Tapi dalam proses keluaranya , tegas pemilik Museum Rekor Indonesia itu , singkatan i yang terakhir (insya Allah) jadi kunci penentu.

Pola berhasil bisnis perkutut , setali tiga uang. Proses pegang peranan. Gunawan , pemilik Galaxi Bird Farm , Ponorogo , mengaku gres mengenyam kesuksesan dalam beternak perkutut sehabis belasan tahun mencermati karakteristik burung klangenan itu. Haji Muhammad , pemilik ‘‘Susi Susanti” , perkutut jawara di tahun 80-an , tidak serta merta meraup laba dalam hitungan hari.”Orang lazimnya cuma menyaksikan segi suksesnya. Padahal , nyaris setiap peternak perkutut sebelumnya bonyok ,” ungkap Gunawan alia Kho Jang.

Lelaki yang kini juga menekuni bisnis sarang wallet itu , lebih meyakini petuah antik dalam berbisnis. Yakni , kuasai jurus dahulu , gres menekuni ke gelanggang. Jurus dalam konteks ini merupakan pengertian karakteristis burung perkutut. Dari katuranggan (sosok) , habitat murni , hingga ke apresiasi bunyi (anggung).

Hasil survey menyediakan , kesuksesan pebisnis perkutut mencetak piyikan (anak perkutut) kampiun bernilai ratusan juta rupiah , tidak lepas dari pola berhasil stori berakronim ‘i’ (insya Allah) ala Jaya Suprana. “Campur tangan Tuhan , dalam proses breeding perkutut mesti diyakini dan diposisikan pada urutan teratas. Saya meyakini itu ,” ujar H.Andy , pemilik peternakan berlebel AMIR , dari Kediri.

Logika spiritualnya , budidaya ternak perkutut sama artinya dengan bermain-main dengan nyawa. Bermain dengan sosok makluk hidup yang berjulukan perkutut. Maknanya , posisi peternak dalam hal ini berada cuma selaku pemproses. Soal hasil karenanya , berada di tangan Allah.

Lantaran posisi peternak dalam penangkaran perkutut cuma berada pada proses , kiprah peternak merupakan seoptimal mungkin mempelajari , mencermati , mengerti dan menghayati karakteristik burung itu.

Jadi , sebelum mentukan keputusan menekuni ke bisnis perkutut , orang itu mesti lebih dahulu mencintainya. Inti cinta merupakan memberi dan menerima tanpa terbebani tuntutan.”Dari sini gres masuk pada pengertian karakteristik. Misalnya , kesukaannya makannya apa , bunyinya bagaimana , dan libodonya menyerupai apa. Kalau burung itu sukanya makan milet , ya jangan diberi gabah atau ketan hitam. Ikuti aja kemauannya , ” lanjut Andy.

Sayangnya , proses pemahamanan karekateristik burung perkutut ini , utamanya pada segi apresiasi , menyerupai diungkap Syaiful , juri perkutut bersertivikat nasional , perlu waktu panjang. Dan , inilah halangan utama bagi pemula (sebutan orang yang gres menekuni ke kegemaran perkutut). Sebab diyakini , masih banyak pemula yang keliru mengapresiasi anggungan perkuktut. “Misalnya dalam mengapresiasi dasar suara. Banyak penggemar yang masih mbledro (salah tafsir) , utamanya bunyi tengah atau ketek , ” kata Syaiful.

Acuan dasar , terdapat delapan pola dasar bunyi perkutut. Yaitu , cowong (dua ketukan). telon (tiga ketukan) , engkel atau genep (empat ketekuan) , karotengah atau satu setengah (lima ketukan) , dobel (enam ketukan) , debel plus (tujuh ketukan) dan tripel (delapan ketukan).

Sedangkan referesnsi apresiasi bunyi , terjadwal tiga kriteria. Yakni , angkatan (suara depan – hur atau klar , atau juga klao) , ketek (suara tengah – ketek , atau ke ke , atau kek kek) , dan ujung (tengkung – kung atau klak).
Tapi dalam apresiasi penjurian di konkurs perkutut , apresiasi bunyi perkutut ditambah dengan dua persyaratan dasar. Yaitu , ditambah irama (nada) dan mutu bunyi (air suara).

Beracuan referensi itu , kunci bunyi tengah (atau ketek) merupakan rangkaian bunyi yang berisikan dua silap (ketukan) atau dua suku kata , “ke” dan “tek”. Dalam tata cara penjuarian , nilai tertinggi pada apresiasi bunyi tengah atau ketek , diberikan pada burung perkutut dengan ketek yang terang , tebal , dan senggang (mji-miji). Biasanya perkutut dengan bunyi tengah tepat diberi nilai dengan angka pendekatan 9 (sempurna).

Dari hasil penghayatan ini , memiliki arti perkutut bisa dikatakan memiliki bunyi tengah jikalau ia bisa mengeluarkan bunyi “ke” dan “tek”. Pertanyaannya , dan ini sering menjebak pemula , burung dengan bunyi tengah yang ajeg , misalnya te ,te ,te ,te atau kek ,kek ,kek ,kek --- berapa pun jumlah pengulangannya , apakah bisa dianggap memiliki bunyi tengah atau ketek? (bersambung). andi casiyem sudin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel