Ahli Spiritual Bicara Soal Kembar Mayang Pada Makam Korban Sriwijaya Air Di Surabaya
SURABAYA, – Masyarakat Indonesia, khususnya suku Jawa masih menjunjung tinggi nilai-nilai budbahasa peninggalan nenek moyang. Salah satu perihal kembar mayang yang selalu dilibatkan di setiap program sakral seperti pada dikala prosesi pemakaman hingga pekawinan.
Seperti pada prosesi pemakaman korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 asal Surabaya, Fadly Satrianto, misalnya. Keluarga almarhum sengaja menenteng dekorasi unik berbahan janur kuning dengan sumbu batang pisang (gedebok, jawa) sebagai pegangan. Hiasan ini lalu diletakkan pada kanan kiri nisan makam korban.
Apa sesungguhnya makna dari hiasan dekoratif tersebut? Becki Sakuri, selaku andal spiritual Surabaya yang biasa disapa Gus Becki menerangkan. Kembar mayang atau acap kali disebut kembang mayang ialah simbol tanda bahwa ditempat itu makam seorang perawan atau bujangan.
“Itu hanya sebagai simbol atau menandai bahwa si almarhum ini masih bujangan atau belum pernah menikah,” terperinci Gus Becki lewat sambungan telepon, Sabtu (16/1/2021).
Keterangan Gus Becki benar adanya. Fadly Satrianto saat meninggal berstatus lajang. Korban merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Putra pasangan Sumarzen Marjuki dengan Ninik Andayani.
“Iya (Fadly Satrianto) masih lajang. Usianya 29 tahun, lahir tahun 1992,” aku Sumarzen, ayah korban kepada media ini, Minggu (10/1/2021) lalu.
Gus Becki kembali menerangkan, bukan hanya makam perawan dan bujangan saja diberi simbol kembar mayang. Di pemakaman anak-anak pun juga terkadang demikian. Namun itu jarang dilaksanakan, cuma pada umumnya makam orang-orang yang sudah memasuki kurun arif balig atau sudah akil balig cukup akal.
“Terutama digunakan yang telah sampaumur, telah cendekia balig. Kalau meninggal itu digunakan kembar mayang, diletakkan di makamnya. Untuk menandai saja bantu-membantu, pokoknya orang yang belum menikah,” lanjut Gus Becki.
Terkait bahan hiasan dibilang Gus Becki, masyarakat lebih menentukan menggunakan bahan janur kuning dan batang pohon pisang. Karena itu sudah menjadi adat budaya secara turun-temurun. Sedangkan bunga atau tanaman lain sebagai perhiasan hiasan, itu tergantung dari setiap daerah di Pulau Jawa yang lazimnya memiliki perbedaan. Bentuknya juga bermacam-macam, ada yang dibentuk semacam gunungan, ada pula ibarat seekor burung.
“Makara nggak terlalu pakem. Tapi hampir sama, tetapi nggak terlalu pakem. Yang niscaya itu janur kuning dan ada gedebok,” tandasnya.
Bahan-materi kembar mayang yang dipakai itu menurut Pengasuh Padepokan Lillaah Surabaya ini, mempunyai makna mendalam. Semuanya tak lepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan jaman dahulu hingga ada campur tangan para wali saat berbagi Islam di tanah Jawa.
Seperti janur kuning kata ia, berasal dari dua kata arab Ja’a-nuur, mempunyai arti datangnya cahaya. Sedangkan kuning berasal dari kata qanaah memiliki arti mendapatkan. Lalu kalau dikaitkan dengan prosesi pemakaman, maka mempunyai arti biar penghuni kubur ikhlas mendapatkan takdir yang kuasa bahwa yang bersangkutan telah mati. Termasuk para keluarga yang ditinggalkan juga harus rela menerima kondisi.
“Semuanya menerima, baik yang meninggal menerima kondisi selaku kodratnya Allah, juga orang tua, kerabat dan kerabatnya,” beber Gus Becki.
Pun dengan ijab kabul. Dijelaskan Gus Becki, itu mempunyai simbol biar kehidupan rumah tangga pasangan mempelai pengantin senantiasa menerima berkah cahaya secara lahir maupun batin dari Tuhan Yang Maha Kuasa selama mengarungi rumah tangga.
Sementara itu, Gus Becki juga menyinggung soal penggunaan komponen lima jenis bunga atau panca warna pada kembar mayang. Ia mengatakan, hal itu bermakna wacana pentingnya masyarakat muslim mengerjakan sholat lima waktu selaku bab dari rukun Islam.
Kendati begitu, pemakaian kembang mayang di setiap upacara maut maupun ijab kabul menurutnya, tidak wajib dilakukan. Tidak ada konsekuensi diterima bagi yang meninggalkan.
“Itu semua tergantung iktikad,” singkat ia.
Hanya saja, kata beliau, itu bab budaya Jawa yang sebaiknya tetap dipertahankan dan dilestarikan alasannya adalah banyak mengandung pesan konkret bagi penduduk jika dipelajari secara mendalam.
Seperti pinjaman kendil pada makam, dikatakan Gus Becki, berarti air kehidupan semoga almarhum tidak dahaga di alam barzah. Lalu upacara pemotongan binatang kurban di upacara ajal juga dijelaskannya sebagai bentuk sedekah yang ditujukan terhadap almarhum.
“Sebagai tunggangan si almarhum di alam sana (kubur),” tandas beliau.
Dirinya berharap budaya-budaya tersebut tetap lestari sebagai bentuk kepribadian bangsa ditengah gempuran efek budaya barat yang makin merajalela.
“Kalau kita orang Jawa ini (mesti) mengistiqomahi apa yang ada. Termasuk juga yang dari Jawa Barat atau budaya lain alangkah tetap menguri-uri jangan sampai terkikis oleh peradaban zaman,” pungkas Gus Becki.