Cerita Dua Serdadu Peta Memimpin Pemberontakan 14 Februari 1945 Di Blitar
SURABAYA, – Penderitaan fisik dan mental yang dialami rakyat Blitar semasa penjajahan Jepang benar-benar sudah aben tekad dua serdadu Pembela Tanah Air (PETA) untuk mengangkat senjata melaksanakan pemberontakan.
Adalah Supriyadi dan Muradi, dua di antara kesatria-kesatria PETA yang darahnya bergelora melihat penderitaan rakyatnya. Dua perjaka yang usianya belum genap 20 tahun itu pun gigih di garis depan perlawanan menghalau penjajah Jepang dari bumi pertiwi.
PETA sendiri terbentuk menjelang berakhirnya Seinen Doojo, barisan militer pribumi bentukan Jepang di Tangerang-angkatan II selaku persiapan melawan sekutu.
Sejarah pendirian PETA disebut-sebut atas tawaran Gatot Mangkupradja, pelopor PNI, terhadap Gunseikan, kepala pemerintahan militer. Namun sumber lain mencatat, bila ajuan itu atas bujukan Panglima Tentara Letnan Jenderal Kumaichi Harada.
Pada 7 September 1943, Gatot Mangkupradja mengikuti rekomendasi Jepang mengantarsurat tawaran pembentukan PETA yang seluruh anggotanya para cowok bumiputra. Sebulan kemudian anjuran itu disetujui oleh Gunseikan, seiring terbitnya maklumat Osamu Seirei Nomor 44, aturan ihwal pembentukan PETA secara formal.
Osamu Seirei juga mengontrol kepangkatan prajurit PETA, mulai dari Daidanco (komandan batalion) diseleksi dari para tokoh sampai pemuka agama. Cuudanco (komandan kompi) berasal dari kalangan pekerja. Kemudian Shoodanco, (komandan peleton) berlatar pelajar setingkat lanjutan pertama sampai atas.
Budanco (komandan regu) diseleksi dari kelompok perjaka lulusan sekolah dasar dan terakhir Giyuhei, setingkat Budanco yang diseleksi secara sukarela. Supriyadi dan Muradi kala itu berpangkat Shoodanco.
Penderitaan rakyat terasa kian menjadi-jadi saat pemerintah Jepang mengharuskan semua petani menyerahkan hasil bumi ke Kumiai, koperasi pengumpulan padi milik Gunseikan.
Saat lainnya, panggilan kerja paksa yang diketahui dengan Romusha kian menambah kesengsaraan rakyat.
Tidak terima dengan penderitaan rakyat di tanah air sendiri, kemudian benar-benar membulatkan tekad Supriyadi dan Muradi untuk balik melawan.
“Ketika beliau pamit terhadap bapak mau berontak, bapak pesan begini. Berani angkat senjata, memiliki arti kamu harus berani mati dalam keadaan apa saja,” ujar Suroto, adik tiri Supriyadi di Blitar.
Sebelum betul-betul bergerak, Supriyadi dan Muradi dikabarkan sempat memberitahukan planning pemberontakan tersebut kepada Soekarno saat kunjungannya ke Blitar. Pada peluang itu, Soekarno mewanti-wanti dan meminta cowok PETA mengurungkan niat sebab jumlah pasukan di bawah kepemimpinan Supriyadi maupun Muradi kalah banyak dari Jepang.
Penderitaan rakyat di depan mata dan darah yang kadung mendidih di kepala menciptakan rekomendasi Soekarno tak mampu membendung tekad mereka.
Pemberontakan kesannya pecah. Puncaknya tanggal 14 Februari 1945. Meski planning telah matang disusun, perlawanan cowok Blitar saat itu juga itu tumbang. Jepang lebih siap menghadapi pemberontakan karena lebih dulu mencium agresi mereka. Tiga dari empat kompi yang mau melancarkan pemberontakan, sehari sebelumnya dikirim Jepang ke Tuban supaya pasukan menjadi lemah.
Kabar yang meningkat , pasukan Supriyadi sehabis terdesak hasilnya dihabisi Jepang di Alas Maliran, Ponggok-Blitar. Riwayat kedua pejuang muda itu pun hingga kini masih diselimuti sejuta tanya. Tidak ada bukti yang menyebut terperinci mengenai keberadaan terakhir Supriyadi dan Muradi.