-->

Insan Biang Tragedi Hidrologi Di Jawa Timur

SURABAYA, – Awal tahun 2021 tragedi hidrologi menyasar banyak sekali kawasan di tanah air, tak terkecuali Jawa Timur. Mulai dari banjir, angin puting beliung, tornado sampai tanah longsor.


Faktor alam seperti meningkatnya curah hujan sampai cuaca ekstrim, dituding selaku pemicu terjadinya petaka tersebut. Meski tak salah, tetapi fikiran itu juga tak sepenuhnya benar. Sebab, aspek alam berupa tingginya curah hujan serta cuaca ekstrim terjadi justru sebab ada campur tangan insan.


“Kaprikornus bila kita menyaksikan meningkatnya curah hujan, jumlah air yang turun ke bumi itu tidak serta merta dilihat karena masalah alam semata. Tapi alam ini berganti karena faktor manusianya,” ucap Rere Christanto, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim di Surabaya, Rabu (20/1/2021).


Dengan mengutip pernyataan mantan Kepala BNPB Almarhum Sutopo Purwo Nugroho, Rere memberikan, bantu-membantu ada dua aspek penyebab bencana hidrologi terjadi. Pertama, sebab dinamika cuaca (aspek alam). Kedua balasan dinamika manusia atau diketahui dengan perumpamaan antropogenik. Namun bagi Rere, kedua dinamika penyebab timbulnya petaka tersebut sama-sama alasannya adalah ulah insan.


Ia menerangkan, cuaca ekstrim terjadi akibat perubahan iklim disebabkan oleh pemanasan global. Sedangkan pemanasan global itu sendiri akibat tak terkendalinya emisi gas rumah kaca seiring meningkatnya penggunaan energi fosil oleh manusia. Jadi mampu disimpulkan, biang peristiwa hidrologi sebetulnya yakni antropogenik.


“Perubahan iklim sendiri didorong oleh banyak segala kegiatan manusia. Salah satunya yang terbesar adalah penggunaan energi fosil. Penggunaan energi fosil menimbulkan meningkatnya emisi gas rumah beling, emisi gas rumah beling menjadikan pemanasan global, pemanasan global menyebabkan pergantian iklim. Nah perubahan iklim inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu paling besar meningkatnya tragedi hidrologi,” urainya.


Selain pergantian iklim akibat emisi gas rumah beling, penyebab meningkatnya bencana hidrologi juga dipengaruhi berkurangnya zona hijau di Jawa Timur. Hutan dan daerah ekologi di daerah pesisir, sekarang beralih fungsi. Menjelma menjadi bangunan infrastruktur maupun area industri pertambangan.


Padahal hutan maupun kawasan ekologi di daerah pesisir semula difungsikan selaku penghalau terjangan tragedi hidrologi. Apabila eksistensi hutan dan kawasan ekologi itu tidak fungsional lagi, dikatakan Rere, tempat itu dan sekitarnya punya kerentanan tinggi terjadi bencana hidrologi.


“Cuacanya sendiri telah berubah akhir pergantian iklim. Yang kedua banyak daerah-kawasan penting secara ekologis telah banyak berubah fungsi,” lanjutnya.


Berpegang dari data Global Forest Watch, Rere menerangkan, luasan daerah tertutup pohon (area of humid primary forest) di Jawa Timur sejak tahun 2001 hingga 2019, sudah berkurang 84.5 Kilohektar (Kha). Dimana 9.32 Kha-nya ialah tempat hutan yang berada di Kabupaten Banyuwangi, Trenggalek, Jember, Malang dan Pacitan.


Padahal daerah-tempat itu berperan selaku daerah penyanggah untuk melindungi daerah hilir dari peristiwa hidrologi, “Karena kalau tempat itu rusak, maka akan menimbulkan keterancaman bagi daerah dibawahnya,” ucap Rere.


Banjir di Jember salah satunya, disinyalir terjadi balasan menyusutnya areal hutan di Banyuwangi. Meski keadaan ini mengkhawatirkan. Namun bagi Rere, masih ada upaya yang mampu dilaksanakan biar peristiwa hidrologi di Jawa Timur tidak kian meningkat.


Yakni dengan menata ulang perencanaan tata ruang pembangunan, baik oleh pemerintah ataupun swasta, dengan memperhatikan daya tampung maupun daya dukung lingkungan. Menghidupkan kembali fungsi hutan sebagai penyanggah kawasan hilir dari peristiwa hidrologi.


Sedangkan untuk daerah pesisir, dengan cara memperkuat kapasitas insan dan lingkungan pada area yang memiliki kerentanan peristiwa tinggi. “Kalau ancamannya sudah tinggi, kapasitasnya yang mesti dikuatkan,” tandasnya.


Penguatan kapasitas insan dimaksud Rere, dengan memberi wawasan mengenai kebencanaan terhadap masyarakat di wilayah rentan bencana. Sementara memperkuat kapasitas lingkungan dengan memajukan daya halau daerah kepada bencana. Mempertahankan atau bahkan memperbesar kapasitas ekologi di pesisir. Bukan malah mengeksploitasi menjadi tempat pertambangan.


“Menurunkan kerentanan tragedi itu dengan meningkatkan kapasitas kawasan. Sumber daya manusianya mendapat pendidikan soal tanggap tragedi, kapasitas lingkungan juga harus dikuatkan,” pungkas Rere.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel