Polemik Pembelian Lahan Sengketa Pasar Batuan Bergulir Ke Pn Sumenep
SUMENEP, – Gugatan R. Soehartono, putra sulung mantan Bupati Sumenep, R. Soemar’oem kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, soal lahan Pasar Tradisional yang berlokasi di sebelah barat SKB Batuan, tengah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Sumenep.
Gugatan tersebut dialamatkan kepada OPD Disperindag, sehingga untuk penanganannya menjadi tugas dan tanggungjawab bagian hukum Setkab Sumenep.
“Atas dasar itu, maka kami melakukan penanganan hukum,” terperinci Kabag Hukum Pemkab Sumenep, Hizbul Wathan, Rabu (17/2/2021), di ruang kerjanya Rabu (17/2/2021).
Terkait sengketa tanah tersebut, Wathan mengklaim Pemkab gres tahu soal sengketa kepemilikan tanah dikala masuk proses pembuatan pagar.
Menurutnya, tanah yang dibeli Pemkab Sumenep untuk dibangun pasar itu menjadi urusan pihak-pihak yang bersengketa, adalah R. Soehartono dan Mohammad Zis.
“Kalau soal sengketanya kami tidak mengenali. Karena kami, bukan para pihak yang bersengketa,” sebutnya.
Menurutnya, masalah itu bahwasanya sengketa antara R. Soehartono dengan Pak Zis. Hubungan hukumnya pun dengan Pak Zis. Dalam perkembangannya ada istilah tergugat intervensi alasannya tanah yang disengketakan dibeli Pemkab Sumenep.
“Sehingga Pak R. Soehartono ini gugatannya bukan ke Pak Zis namun terhadap Pemkab Sumenep. Karena Pak Zis melepaskan peralihan haknya terhadap kami,” jelasnya.
Wathan mengklaim, pengadaan tanah itu sudah menurut mekanisme yang benar di Disperindag Sumenep. Bahkan relasi hukum kaitannya Mohammad Zis ke Disperindag telah melalui proses administrasi yang sah.
“Proses pembelian tanah oleh pemkab tersebut sudah menurut atas bukti kepemilikan tanah dari pihak Pak Zis. Namun setelah tanah itu menjadi milik Pemkab Sumenep, muncullah somasi dari pihak pak Hartono,” imbuhnya.
Saat ini, masalah sengketa tanah Pasar Batuan tersebut sudah masuk ke ranah aturan dengan nomor masalah 03/PDT.G/2020/PN.Sumenep.
“Kita mampu panggilan pertama pada tanggal 6 Februari 2020, OPD yang jadi tergugat yaitu Disperindag. Kemudian penggugatnya adalah Bapak R. Soehartono,” lanjut Wathan.
Sementara persidangannya sendiri menurut Kabag Hukum sudah terlaksana dan untuk Kamis (18/2/2021) besok, agendanya informasi saksi dari pihak penggugat.
Dari kesaksian itu lalu pembuktian, tamat baru kesimpulan. Ketika seluruhnya akhir gres putusan.
“Kalau dari persidangan persentasi titik tekannya di pembuktian. Pembuktian surat (tanah,red) apakah sudah sesuai,” tegasnya.
:
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Sumenep, menggelontorkan dana sekitar 8,941 miliar dari APBD tahun 2018 untuk pembelian tanah. Lahan seluas 1,6 hektare yang berlokasi di sebelah barat SKB Batuan dijadwalkan untuk membangun Pasar Tradisional.
Proyek pengerjaan fisik pun dimulai dengan membuat pagar. Pembangunannya, ditaksir menelan budget sebesar Rp600 juta dari dana alokasi khusus (DAK) tahun 2019.
Tanah yang mulanya dibeli dari RB Mohammad dan Mohammad Zis itu justru belakangan menuai polemik. Pasalnya, R. Soehartono, putra sulung mantan Bupati Sumenep, R. Soemar’oem juga mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPRD Sumenep, H. Moh Subaidi menyebut, Pemkab Sumenep terkesan gerasah gerusuh dalam pembelian lahan. Pembelian tanah itu dinilai tanpa melalui tahapan yang semestinya dilaksanakan oleh administrator, mirip mengevaluasi status tanah hingga status kepemilikan yang sah di mata hukum.
“Kenapa jika belum terperinci (lahan,red) pribadi dikeluarkan anggarannya. Kami sungguh menyayangkan ini,” tegas H. Subaidi, Selasa (16/2/2021).
Disinggung mengenai peran legislatif dalam menertibkan realisasi program tersebut, politisi dapil II ini menyebut bahwa eksekusi realisasinya tetap di direktur.
“Walaupun DPRD yang menyepakati tetapi eksekusinya kan tetap ada di pemerintah tempat,” imbuhnya.
Berdasarkan hasil kajian dan pencarian pihaknya saat melakukan inspeksi secara tiba-tiba (Sidak) pada tahun 2019 lalu, didapatkan bahwa status kepemilikan tanah kedua belah pihak sama-sama dibuktikan dengan eksistensi akta perdagangan (AJB) tanah.
Dalam hal ini, kedua belah pihak disinyalir berpengaruh mempunyai legal standing aturan soal kepemilikan tanah yang masih bersengketa tersebut. Mestinya, pemerintah tidak tergesa-gesa mengeluarkan anggaran sebelum status hukum terperinci.
“AJB ada dua, hanya nomornya yang berbeda. Ini abnormal tapi positif. Saya cermati hanya nomornya yang berbeda. Contoh yang satu nomor 10 yang satunya nomor 11. Sama sama pegang AJB,” urainya.
Dengan status pembelian tanah seluas 1,6 hektar itu, lanjut beliau, pemerintah telah mengalami kerugian baik waktu maupun manfaat.
“Seharusnya duit itu berguna. Kalau hitung-hitungan bisnis harusnya sekian tahun sudah dapat berapa, tapi bila hitung-hitungan faedah itu tidak berguna,” keluhnya.
Untuk itu, pihaknya meminta terhadap pemerintah agar polemik tersebut secepatnya tertuntaskan biar tidak muncul kecurigaan mendalam dari seluruh rakyat.
“Kalau benar AJB yang dipegang pedagang , pemerintah harus secepatnya bergerak dan bertindak sesuai planning, jika tidak, pemerintah mesti bertanggungjawab seperti apa nanti, apakah bisa dipidanakan atau tidak,” ujarnya.
“Yang terang pemerintah salah berbelanja tanah itu sebab tanpa melalu tahapan yang terperinci sehingga menjadikan pertentangan sampai kini,” tegasnya.