Komunitas Pers Desak Revisi Uu Ite, Ini Alasannya Adalah
JAKARTA, -Sejumlah komunitas, forum dan organisasi pers mendesak pemerintah dan DPR segera melaksanakan revisi UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik), Rabu (10/3/20210).
Sejumlah lembaga dan organisasi pers tersebut memenuhi usul Kemenko Polhukam RI untuk memberi masukan terhadap Tim Kajian revisi UU ITE yang dikepalai oleh Dr Sigit Purnomo dari Kedeputian III Polhukam.
Pertemuan disertai ketua dan direktur forum yaitu Ade Wahyudin (LBH Pers), Wens Manggut (Asosiasi Media Siber Indonesia – AMSI), Sasmito Madrim (Aliansi Jurnalis Independen – AJI), dan Imam Wahyudi (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia – IJTI).
Mengutip siaran pers AMSI yang diterima faktualNews.co, Rabu (10/3/21021) malam, komunitas pers yang hadir pada forum tersebut mendorong pemerintah melaksanakan revisi terhadap UU ITE, khususnya kepada pasal-pasal yang mengancam keleluasaan pers.
Direktur LBH pers Ade Wahyudin mengatakan, keleluasaan pers ialah amanat konstitusi, yang sudah diakui dan dijamin dalam Undang–undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD) 1945.
Walaupun tidak dikontrol secara eksplisit namun elemen–elemen keleluasaan pers jelas–jelas diatur dalam UUD 1945 seperti keleluasaan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berkomunikasi dan hak atas informasi.
Pengakuan atas keleluasaan pers dalam konstitusi negara harusnya diejawantahkan dalam pembuatan peraturan perundang–undangan turunan UUD 1945.
“Kebebasan pers merupakan pilar penting sebuah negara aturan dan demokrasi. Oleh karena itu perlindungannya mesti dituangkan dalam peraturan perundang-ajakan yang berlaku. Namun kenyataannya, tidak semua ketentuan dalam peraturan perundang-seruan benar-benar melindungi media pers dan wartawan. Masih ada beberapa ketentuan yang justru mengancam dan bahkan menggerus hak atas keleluasaan pers, salah satunya UU ITE. Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar Pers, tetapi nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan sampai divonis bersalah oleh Hakim,” ujar Ade.
Berikut yakni catatan LBH Pers kepada pasal-pasal memiliki masalah di UU ITE utamanya pada pasal-pasal yang memiliki peluang dan menghambat kebebasan pers:
1. Pasal wacana pembatalan berita elektronika (Pasal 26 ayat 3). Berpotensi bertabrakan dengan UU pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-seruan lain yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi. Ketidakjelasan rumusan ‘gosip yang tidak berhubungan ’ dapat dipakai untuk melanggengkan fenomena impunitas kejahatan dalam perkara-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, atau kekerasan seksual. Sebab membuka peluang bagi pelaku tergolong pejabat publik untuk mengajukan pembatalan gosip tersebut, termasuk berita yang diproduksi media pers.
Frasa ‘penetapan pengadilan’ menjadi duduk perkara tersendiri alasannya adalah hal ini merefleksikan asas voluntair sementara efek peniadaan menimpa minimal dua pihak sekaligus ialah eksklusif dan pengendali data yang dalam hal ini disebut Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) tergolong media. Dengan demikian, secara subtansi pasal ini sudah berurusan dan dapat digunakan untuk kepentingan yang semangatnya jauh dari penghormatan kepada hak asasi insan.
2. Pasal pencemaran nama baik dan penghinaan (Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3).
Pasal ini memperbesar risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan. Karena rumusan pasal yang luas sehingga seringkali dipakai untuk membungkam keleluasaan berekspresi dan beropini di ruang online tidak terkecuali pada wartawan. Meskipun dalam klarifikasi telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311 kitab undang-undang hukum pidana, namun dalam praktik seringkali diabaikan karena unsur ‘penghinaan’ masih terdapat di dalam pasal. Kasus-kasus wartawan yang terjerat UU ITE Pasal 27 ayat 3 seperti wartawan Mediarealitas.com M Reza alias Epong divonis 1 tahun penjara alasannya terbukti bersalah sesudah menulis informasi tentang dugaan penyalahgunaan wewenang, dirilis di media mediarealitas.com kemudian link gosip disebarkan di akun facebook langsung. Judul berita dikopi untuk dijadikan ‘caption’.
Jika menyaksikan dari kasus-kasus di atas, serangan balik terhadap wartawan ketika melaksanakan kerja wartawan sangat kasatmata, dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE menjadi salah satu peraturan yang berkontribusi memuluskan serangan balik terhadap keleluasaan pers.
3. Pasal perihal ujaran kebencian (Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2).
Seharusnya dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana ihwal propaganda kebencian. Namun pasal ini justru menyasar kelompok dan individu bahkan pers yang mengkritik institusi dengan verbal yang sah. Lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, padahal pasal terkait penghinaan Presiden telah dihapus Mahkamah Konstitusi alasannya dianggap inkonstitusional.
Mestinya pasal ini untuk melindungi penduduk dari propaganda kebencian terhadap suku, agama, ras dan antar golongan. Namun karena sangat lenturnya pasal ini, wartawan yang kritis bisa dianggap mengembangkan ujaran kebencian kepada golongan-golongan tertentu. Contoh kasus-kasus wartawan yang dijerat pasal 28 ayat 2, seperti Diananta wartawan banjarhits/kumparan divonis 3 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Kotabaru sehabis menulis gosip konflik lahan di Kalsel antara warga dan pebisnis.
Hakim mengabaikan mahir dari Dewan pers yang menyatakan masalah yang diadili yakni produk pers dan harus diselesaikan melalui sengketa pers. Kemudian Sadli Saleh pemimpin redaksi liputanpersada.com dilaporkan oleh Bupati Buton Tengah, Samahudin alasannya mengembangkan info via Facebook dan Whatsapp.
4. Pasal 36, menambah ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 27 sampai 34 UU ITE menjadi 12 tahun kalau menyebabkan kerugian.
Keberadaan ketentuan ini berpeluang digunakan untuk memperberat ancaman pidana sehingga memenuhi bagian untuk dilaksanakan penahanan.
5. Pasal wacana pemblokiran (Pasal 40 ayat 2b).
Kewenangan tentang pengaturan blocking dan filtering konten harus dikontrol secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law. Kewenangan yang besar tanpa metode kontrol dan pengawasan menciptakan kebijakan blokir internet memiliki peluang absolut. Salah satu contoh pada dikala Pemerintah dalam hal ini Kemkominfo RI melaksanakan langkah-langkah pelambatan dan pemutusan terusan internet di Papua dan Papua Barat pada final tahun 2019 yang lalu dinyatakan selaku tindakan melanggar hukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Sebagai berita bahwa ketika ini LBH pers bareng koalisi penduduk sipil sedang melakukan permohonan uji materi terhadap Pasal 40 ayat 2b. Dalam uji bahan yang kami usikan, pada pokoknya kami meminta semoga menghalangi kewenangan dalam melakukan pemblokiran dan mendorong proses due process of law dalam setiap langkah-langkah pemblokiran internet.
Berdasarkan uraian di atas, LBH Pers dan AJI Indonesia merekomendasikan Pemerintah dan dewan perwakilan rakyat untuk segera melakukan revisi menyeluruh pada UU ITE, tidak sebatas penghinaan, pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, selaku berikut:
Mencabut pasal 26 ayat 3 UU ITE dan dipindahkan ke dalam RUU Perlindungan Data Pribadi yang saat ini sedang di diskusikan oleh dewan perwakilan rakyat.
Mencabut pasal-pasal berurusan mirip Pasal 27 ayat 3 ihwal pencemaran atau penghinaan dan 28 ayat 2 ihwal ujaran kebencian kemudian disertai dengan mencabut pasal lain yang secara subtansi memiliki masalah dan multitafsir mirip Pasal 27 ayat 1 ihwal kesusilaan, Pasal 29 tentang menakut nakuti yang ditujukan secara eksklusif dan Pasal 36 tentang pemberatan pidana yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Melakukan revisi pada pasal 40 ayat 2a dan 2b dengan memasukan secara terang prosedur due process of law.