Masjid Kh Hasan Mimbar Tulungagung, Jejak Sejarah Syiar Islam Semenjak 1727
TULUNGAGUNG, –Masjid KH Hasan Mimbar di Desa Majan Kecamatan Kedungwaru Tulungagung, ditilik dari segi hitoris merupakan salah satu saksi bisa syiar Islam di Kabupaten Tulungagung semenjak tahun 1727 Masehi.
Masjid ini pertama kali dibangun engan khas arsitek jawa, yaitu terdapat serambi (ibarat balai) dengan berupa linmas, suatu menara yang bangun kokoh tanpa kerangka, dan lengkap dengan gerbang masjid khas Kesultanan Mataram.
Menilik jejak historisnya, Gus Ali Sodiq, salah satu pemangku masjid KH Hasan Mimbar ini menuturkan, bermula pada 1727 Masehi, Bupati Raden Ngabei Mangundirono merupakan Bupati Ngrowo I (Kabupaten Tulungagung) memerintahkan KH Hasan Mimbar untuk berbagi agama Islam di Kadipaten Ngrowo.
Perintah tersebut juga merupakan perintah Raja Mataram Sinuhun Pakubuwono II. KH Hasan Mimbar lalu mendapatkan sebidang tanah yang hari ini diketahui dengan nama Desa Majan, inilah yang kemudian menjadi permulaan mula bumi Perdikan Majan.
Bermula dari hal itu, Raden KH Khasan Mimbar, yang masih terhitung selaku keluarga Kesultanan Mataram Islam ketika dipimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II di Kartasura kemudian diketahui sebagai pendiri Desa Majan.
Tugas-peran dalam perintah yang diberikan tersebut untuk berdakwah sekaligus melakukan problem akad nikah secara islam. Tanah Perdikan Majan saat itu diberikan kebebasan untuk tidak mengeluarkan uang pajak terhadap Hindia Belanda alasannya adalah masih punya jejak historis dengan Mataram.
Peran Raden KH Khasan Mimbar dalam berdakwah ialah tidak menetralisir budaya atau adab jawa tetapi turut memasukkan unsur Islam dalam setiap keseharian penduduk Kadipaten Ngrowo selaku langkah dakwah untuk memisahkan mana pedoman Islam dan meninggalkan pedoman yang tidak sesuai syariat.
Bukti besar lengan berkuasa jikalau Tanah Perdikan Majan punya posisi penting di pemerintahan Kadipaten Ngrowo, yaitu beberapa Bupati Ngrowo dimakamkan di sini. Di antaranya yakni R.M.T. Pringgodiningrat (Bupati keempat), R.M.T. Djajadiningrat (Bupati kelima), R.M.T. Pringgokoesomo (Bupati kesepuluh), dan Kanjeng Pangeran Haryo Kusumo Yudho (Patih ke-III Kesultanan Yogyakarta), dan makam keluarga yang lain yang masih terhitung saudara kerajaan.
Sebagaimana halnya ulama Nusantara yang lain yang mempunyai Pondok Pesantren untuk membuat lebih mudah dakwah ke murid-muridnya, komplek Masjid Al-Mimbar juga terdapat Pondok Nggrenjol. Di Pondok inilah, para keturunan Raden KH Khasan Mimbar dulu berdakwah dan tempat para santri untuk menimba ilmu.
Tugas menyebarkan agama Islam ini kemudian dilanjutkan oleh keturunan Raden KH Khasan Mimbar setelah wafat sampai Tanah Perdikan Majan diambil alih pemerintah Indonesia pada tahun 1979.
“Masjid Majan ini yang paling unik ini ialah aktivitas bacaan salalahu, lantunan solawat dan bacaan-bacaan yang berlagu jawa, sebelum puasa setiap malam jumat ada acara ratiban atau tahlil naluri nada Jawa,” ungkap Gus Ali Sodiq, Minggu (25/4/2021).
“Peningalan dia ada pusaka Kiai Golok, bantu-membantu itu nama kemoderenan, jika dilihat dari bentuknya kayak pedang, pusaka yang diberikan oleh Pakubuono II ke Hasan Mimbar untuk syiar agama,” lanjutnya.
Konsep dakwah yang diajarkan oleh KH Hasan Mimbar yakni dengan proses akulturasi nilai Islam kepada budaya atau budbahasa jawa.
“Dulu pondok sudah ada tapi dengan nama padepokan yang ada di maMjan, dulu itu ada, kegiatan di masjid termasuk tarekat. Kalau cara dakwanya itu tidak menghilangkan tradisi jawa juga. tetapi nilai islamnya dimasukkan situ,” terangnya.
Masjid ini pada tahun 1970-an sudah kena lumpur, lalu pada tahun 1980-an dipugar dan dinaikkan masjidnya dan ketika ini yang masih asli adalah atapnya dan menara corong yang dibangun tanpa ada besinya.
“Mohon maaf aku menyaksikan masjid Majan dan Pendopo (Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso), penataannya hampir sama, strukturnya hampir sama, alasannya arsiteknya makamnya disini bupati ke empat,” pungkasnya.